LAUT BERCERITA
Peresensi oleh Zahra Aulia Primadia Putri
Identitas Buku
Penulis : Leila S. Chudori
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun Terbit : 2017
Jumlah Halaman : 379
Dalam buku ini, Leila S. Chudori mengundang kita untuk menyelami kasus penghilangan orang secara paksa. Buku ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama mengambil sudut pandang seorang mahasiswa aktivis bernama Laut, menceritakan bagaimana Laut dan kawan-kawannya menyusun rencana, berpindah-pindah dalam pelarian, hingga tertangkap oleh pasukan rahasia. Sedangkan bagian kedua dikisahkan oleh Asmara, adik Laut. Bagian kedua mewakili perasaan keluarga korban penghilangan paksa, bagaimana pencarian mereka terhadap kerabat mereka yang tak pernah kembali. Berusaha mencari secercah harapan tentang saudara, jika masih hidup, dia disekap di mana. Jika sudah mati, di mana mereka menguburkannya. Juga tentang perasaan para korban selamat, bagaimana terpenjaranya mereka atas kejadian tersebut.
Isi
“Matilah engkau mati, kau akan lahir berkali-kali…” Begitulah dua larik puisi yang menyambut kita di lembar pertama. Biru Laut Wibisono mulai bercerita kepada kita bagaimana ia menemui kematian setelah tiga bulan disekap. “Bapak, Ibu, Asmara, Anjani, dan kawan-kawan… dengarkan ceritaku…” Ia memulai kisah di tahun 1991 pada sebuah tempat bernama Seyegan, Yogyakarta. Seyegan tak lain merupakan markas Wirasena (organisasi mahasiswa) untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang menurut pemerintah adalah sebuah aktivitas terlarang.
Terkisahlah kehidupan persahabatan antara Laut, Alex, Sunu, Daniel, Kinan, Julius, Dana, dan Gusti, serta aktivis-aktivis lainnya. Pada bab Seyegan, Laut bercerita tentang ketertarikan untuk meruntuhkan ketidakadilan yang dilakukan rezim pemerintahan saat itu. Terkadang ia berkisah bagaimana indahnya keluarga dan rindunya pada Asmara (adik semata wayang) dan Anjani (kekasih) tiba-tiba hadir bersama aroma tengkleng buatan Ibu dalam imajinasinya. Peristiwa Blangguan, demi membela petani-petani jagung yang lahannya akan dirampas pemerintah, menjebloskan Laut ke dalam penjara. Ia dipukuli habis-habisan, diinjak dengan sesuatu bergerigi, dan disetrum. Setelah mereka tak mendapat jawaban, Laut dan kawan-kawannya dibuang begitu saja di Bungurasih.
“Di kampus kita hanya belajar disiplin berpikir, tetapi pengalaman yang memberi daya dalam hidup adalah di lapangan.” –Bram
Seringnya aktivitas-aktivitas mereka bocor kepada intel, seperti peristiwa Blangguan, demo di Surabaya, aktivitas di Klender dan acara seminar untuk membahas unjuk rasa yang gagal, membuat Laut dan kawan-kawannya mencurigai Naratama sebagai agen ganda. Hingga pada sepertiga ujung cerita, terkuaklah siapa sebenarnya agen ganda tersebut. Laut pun bercerita bagaimana sakitnya ia dikhianati dari orang yang tak pernah terduga sebelumnya.
“Kita harus belajar kecewa bahwa orang yang kita percaya ternyata memegang pisau dan menusuk punggung kita. Kita tak bisa berharap semua orang akan selalu loyal pada perjuangan dan persahabatan.” –Bram
Bulan Maret 1998 giliran mereka (para aktivis Wirasena) diculik, disiksa, dan diinterogasi dengan tidak manusiawi. Laut, Sunu, Kinan, Bram, Sang Penyair, dan beberapa kawan hilang tanpa jejak setelah disekap. Merek, yaitu Alex, Daniel, Naratama, Coki, Hamdan, dan lima orang lainnya dikembalikan masih dalam keadaan hidup. Hingga saat rezim itu runtuh di Mei 1998, mereka mulai mampu bersuara atas kekejaman yang mereka terima.
“Setiap langkahmu, langkah kita, apakah terlihat atau tidak, apakah terasa atau tidak, adalah sebuah kontribusi, Laut. Mungkin saja kita keluar dari rezim ini 10 tahun lagi atau 20 tahun lagi, tapi apapun yang kamu alami di Blangguan dan Bungurasih adalah sebuah langkah. Sebuah baris dari puisimu, sebuah kalimat pertama dari cerita pendekmu.” –Kinan
Cerita kemudian berlanjut dari sudut pandang Asmara Jati, adik dari Biru Laut dan kekasih Alex. Sebagai keluarga yang ditinggalkan sang kakak secara misterius, mereka sangat kehilangan. Kisah Asmara pun dimulai tahun 2000-an. Bersama keluarga aktivis-aktivis lainnya, Asmara bergabung dengan Aswin dan mencoba mencari keadilan pada pemerintah yang dirasa lebih peduli. Duka kehilangan membuat banyak keluarga hidup dalam penyangkalan. Mereka hidup dalam imajinasi dimana keluarga mereka yang hilang masih tetap ada dalam keseharian. Ayah mereka masih tetap menyiapkan empat piring dalam ritual makan malam bersama di hari Minggu. Memutar lagu yang menandai kehadiran Laut, membersihkan buku-buku dan kamar milik Laut, seolah-olah Laut akan datang secara tiba-tiba kelak.
Keunggulan Buku
Sebagai orang awam yang hanya mempelajari HAM lewat buku cetak PPKn di sekolah, dari buku inilah mendapat perspektif baru. Bagaimana banyaknya orang yang hilang itu bukan sekedar angka, tetapi pembuktian bahwa kasus mereka belum tuntas. Setiap kata yang tertulis di surat demi surat membuat para pembaca dapat merasakan emosi dari si pengirim surat. Bahasa yang digunakan di novel ini mudah dipahami dalam mengulas sejarah Indonesia yang tidak tercatat di buku sekolah.
Kekurangan Buku
Isi novel ini masih memiliki ejaan yang salah seperti “menganalisa” yang seharusnya “menganalisis”, kata “praktek” yang seharusnya “praktik”. Juga ada beberapa kata yang salah ketik. Serta penggunaan bahasa Jawa dalam dialog yang kurang dimengerti beberapa pembaca luar Jawa.
Penutup
Menurut saya, ketika membaca novel ini ada perasaan kalut dan sedih bercampur marah. Tokoh-tokohnya memang fiktif, tetapi ada hal yang menginspirasi terciptanya buku ini. Reformasi 1998 itu nyata, penculikan aktivis itu benar-benar terjadi, dan peristiwa 1965 itu masih menghantui. Membaca novel “Laut Bercerita” terasa seperti sedang membaca sejarah yang hilang. Yang diceritakan dari sisi lain, sisi yang kelam.
Novel ini cocok dibaca bagi para mahasiswa, organisasi-organisasi kampus, para politikus, atau para orang-orang yang bercerita tentang kebebasan. Pembaca akan terus terseret dalam permainan emosi karakter-karakternya hingga akhir cerita. Kisah dalam buku ini merupakan sepenggal dari kisah kita bersama, menjadi bagian yang tak pernah terjelaskan dan tak akan terlupakan.
Ulasan sudah cukup bagus, mungkin bisa memperhatikan aspek² kebahasaan dalam menyusun resensi. Selanjutnya, bisa membaca buku² fiksi terbitan terbaru dan bisa dicoba buat resensi lagi.
BalasHapus